Pelukan tangan lembut membuatku sedikit kaget. Sudah terduga bahwa Mama telah ada di belakang dengan secercah senyum lebar. Seperti malam-malam yang telah berlalu, aku sibuk membaca bertumpuk-tumpuk buku untuk menhadapi tes masuk di SMA impian.
Malam ini adalah malam terkahir perjuangan. Tanpa disuruh pun aku berusaha dengan sekuat tenaga. Belajar dan terus belajar.
"Sudah malam, Sayang. Jangan lupakan kesehatanmu. Tidurlah!"
Aku tersenyum menatap wajah paruh baya dengan gurat lelah. Tidak ada yang berbeda, wanita itu tetap cantik, walaupun usia senja telah mulai menyapa. Apalagi kini jadwal padat selalu membuatnya pulang malam. Seperti hari ini.
"Tidak, Ma. Aku baik-baik saja. Aku ingin membanggakan Mama."
Sebuah kecupan sayang mendarat di puncak kepala. Sambil berbisik wanita itu memberikan semangat. Rasa bahagia dan rasa percaya diri perlahan muncul karena dukungannya. Aku akan membanggakanmu, Ma.
***
Bel masuk telah berbunyi. Semua siswa baru telah masuk ke ruangan masing-masing. Setelah menghela napas guna mengusir kegugupan, aku merapalkan doa dalam hati. Meminta agar diberi kelancaran untuk masuk ke SMA favorit ini.
Setelah itu, aku hanya bisa pasrah. Berusaha mengerjakan soal dengan materi-materi yang teringat. Senyuman Mama tadi pagi semakin membuat semangat ini menggelora. Tidak boleh mengecewakan Mama lagi, itu tekadku hari ini.
***
Mata ini mengerjap. Sesekali melirik jam di dinding, tetapi belum ada tanda-tanda Mama pulang. Tepat saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam, sebuah ketukan terdengar.
"Sayang!"
Tidak biasanya Mama tersenyum di ambang pintu. Apalagi kini kedua tangannya tersembunyi di belakang. Perasaanku semakin dibuat penasaran.
"Ada apa, Ma?"
Mama masih enggan membuka suara. Wanita paruh baya itu hanya memelukku dengan erat. Embusan angin semakin membuat pelukannya menjadi lebih rapat.
"Ada apa, Ma?" tanyaku.
Setelah beberapa menit menunggu pelukan itu terlepas. Berganti dengan dua netra yang telah berubah berkaca. Perlahan tangan lembut Mama mengusap pipiku dengan pelan.
"Kamu diterima di SMA favorit, Bil,"–Mama menyodorkan sepucuk surat–"selamat, Bil! Selamat, Sayang!"
Air mata meleleh tanpa permisi. Roboh sudah benteng pertahanan yang tadi kubuat. Kini, tetes demi tetes telah meluruh memmbasahi pipi.
"Apa Mama bercanda?" tanyaku pada akhirnya.
Wanita itu menggeleng dengan pasti. "Tidak, Sayang. Mama tidak bercanda."
Kami kembali berpelukan. Mengikis kebekuan malam dengan kehangatan rasa kasih sayang. Aku benar-benar bahagia.
***
Seperti mimpi, sudah hampir tiga tahun aku menuntut ilmu di sekolah impian. Namun, nyata jika pada akhirnya takdir harus seperti masa yang telah berlalu. Nabila tetap pada urutan terbawah saat nilai ulangan diumumkan.
Aku tersenyum miris. Menatap taman yang lengang dengan rasa sedih. Minggu depan adalah pelaksanaan UN. Tentu ada rasa tidak percaya diri yang menyelinap di relung hati. Apalagi mengingat nilai ulangan harian yang selalu tertulis dengan tinta merah.
Ada tanya yang diam-diam menyusup di kalbu bersama rasa heran. Kenapa bisa aku diterima di SMA favorit ini dengan nilai rendah. Masih teringat rata-rata nilai anak yang diterima di sini adalah delapan, sedangkan aku hanya mempunyai rata-rata tujuh.
"Bil."
Aku menoleh dan mendapati Ani dengan dua buah ice cream di tangannya. Gadis itu menyodorkan salah satu ice cream tadi. Sambil tersenyum, aku menerimanya.
"Terima kasih."
"Jangan terlalu dipikirkan, Bil."
Aku menggeleng dan tersenyum karena tahu arah pembicaraan Ani. Pastilah tentang ulangan Matematika tadi. Namun, ia juga tahu persis bagaimana rasanya ketika menerima lembar kertas ulangan yang tertera angka merah di atasnya.
"Aku enggak memikirkannya, An. Entah karena terlampau terbiasa mendapat nilai merah atau—"
"Percayalah kita pasti bisa, Bil."
Aku tersenyum remeh. Ani tidak tahu sekeras apa aku mencoba, tetap saja tidak ada satupun ulangan yang melampai angka tujuh. Selama apa pun mencoba, tetaplah nama Nabilla yang tercantum di urutan paling bawah perangkingan.
"Bisa apa, An? Bisa menangis karena sebanyak apa pun buku yang kubaca tidak ada yang bisa mengubah kasta. Bahwa Nabilla tetap menjadi rangking terakhir di kelas ini."
Ani menggeleng dan memelukku. "Jangan berputus asa, Bil. Ingat bahwa usaha tidak akan menghianati hasil."
Aku mencoba menerima argumen itu dan mengajak Ani untuk kembali ke ruang kelas. Namun, sebuah suara dari ruang kepala sekolah membuat kaki ini terhenti. Sebuah suara yang sangan kuhafal.
"Bil."
Aku menggeleng dan mendekatkan telinga di pintu. Ani hanya menatap heran dan memilih diam.
"Saya mohon, Pak. Saya akan membayar berapapun agar Nabilla bisa lulus dari sekolah ini."
Jantung ini berdegup cepat karena mendengar kalimat yang terlontar dari wanita yang kukenal. Namun, pikiran buruk yang hinggap berusaha kuusir. Kembali terfokus kepada pembicaraan dua orang di dalam ruangan.
"Bu—"
"Berapa? Apa Bapak ingin rumah, mobil atau apa? Katakan! Akan saya berikan apa pun asalkan Nabilla bisa lulus."
"Bu, sabar. Dulu Ibu juga seperti ini. Apa Ibu—"
"Saya tidak peduli apa pun, Pak. Saya hanya ingin Nabilla lulus. Berapapun akan saya bayar."
Telingaku berdenging. Ani ikut mendekat saat dua air mata telah meluncur di pipi. Untuk kesekian kali kenyataan kembali menampar.
"Bil."
Ani berusaha meraih tanganku. Namun segera kutepis. Semua amarah dan kecewa bercampur menjadi satu. Kenyataan ini benar-benar terlalu menyakitkan untuk didengar.
Aku berusaha bangkit dan menuju ke dalam ruangan. Tidak peduli lagi dengan Ani yang mengetahui tentang ini. Mama dan kepala sekolah hanya melebarkan netra melihat kedatanganku.
"Bil."
Terdengar suara Mama bergetar. Namun, aku hanya bisa mengabaikan sambil terus menatap dengan pandangan tidak percaya kepada mereka. Semua fakta terungkap dengan sebenar-benarnya.
"Apa ini, Ma, Pak?"
"Sayang—"
"Cukup!"
Kembali keheningan menjerat kami. Sekuat tenaga isak tangis kutahan. Namun, air mata tetap meleleh tanpa diminta.
"Ma, apa ini? Jelaskan pada Billa!"
Mama mendekat dan memelukku. "Mama hanya ingin impianmu terwujud, Bil."
Aku tertawa sumbang dan berusaha melepaskan pelukan Mama. Dada ini telah bergemuruh dengan rasa marah dan kecewa. Kini, wanita paruh baya itu juga ikut menitikkan air mata.
"Apa? Apa Impianku bisa terwujud dengan cara kotor seperti ini? Tidak, Ma! Tidak! Aku sakit melihat kenyataan yang ada. Apa Mama tidak percaya padaku?"
"Mama percaya padamu, Bil. Mama percaya." Wanita itu berusaha menggenggam kedua tanganku.
"Tidak, Ma. Mama tidak percaya pada Nabilla. Jika Mama percaya maka tidak akan ada suapan demi masuk ke sekolah ini. Kini, apalagi? Apa Mama menyuap agar Nabilla bisa lulus dengan nilai memuaskan?"
Mama menggeleng dan kembali berusaha meraih tanganku. Secepat mungkin aku melangkah menjauh. Memberi jarak dengan wanita itu.
"Ingat, Ma! Aku tidak ingin impian untuk lulus harus patah karena suapan. Lebih baik tidak lulus daripada lulus karena uang. Aku masih bisa berjuang dan masih memiliki harga diri."
Setelah perkataan itu aku memilih pergi. Meninggalkan dua orang yang telah membuat kecewa. Ternyata semua hanya dusta.
***
Kejadian itu terus berputar di otak. Menyisakan sesak dan lara secara bersamaan. Selain itu, kekecawaan masih bersemayam.
Selama seminggu aku berusaha menghindari Mama. Terus berusaha memperbaiki diri. Belajar dan belajar.
Aku ingin membuktikan bahwa tanpa uang pun seseorang bisa meraih impian. Perlahan pola belajar yang semula tiada henti berubah menjadi terjadwal. Aku pun jarang menghabiskan waktu untuk hal sia-sia.
Meskipun kecewa, aku tetap bertegur sapa untuk hal-hal penting dengan Mama. Sesekali wanita paruh baya itu juga mencoba mengungkit hal yang telah berlalu. Namun, secepat kilat aku pergi meninggalkan pembicaraan yang membuka luka.
Bukan hanya rasa kecewa, tetapi juga ada rasa sakit yang melingkupi. Bahkan terkadang aku merasa sudah tidak punya harga diri. Ani yang terus menyemangatiku agar terus bangkit dan membuktikan bahwa impian bisa digapai tanpa uang.
**"
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu semua murid. Pengumuman kelulusan, apa lagi hal yang menyenangkan selain itu. Rasa penasaran bercampur takut memenuhi hati.
Pegangan tanganku dan Ani semakin erat saat melihat papan pengumuman. Tangis haru mewarnai hari ini. Tepat saat sudah berada di depan papan, kami membuka mata perlahan.
Sebuah nama Ani Aryanti kemudian tepat di bawahnya Nabilla Kartika terteta di lembar daftar siswa yang lulus. Aku dan Ani berpelukan dengan haru tanpa kata.
Hari ini tidak ada lagi sumpah serapah untuk usaha yang menghianati hasil. Tidak ada lagi rasa rendah karena menjadi yang terakhir. Apalagi rasa kecewa karena perbuatan Mama. Semua sudah sirna.
Aku sudah bisa membuktikan bahwa seorang Nabilla Kartika bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Tanpa suapan dan karena perjuangan.
Kini, aku mengerti. Usaha tidak hanya diraih dengan sekali atau dua kali, karena butuh perjuangan berkali-kali untuk meraih impian. Selain berjuang hanya doa yang bisa membantu untuk menggapai impian. Selain itu, tidak ada yang bisa.
***
Aku berlari memelum Mama dari belakang. Meninggalkan keheningan dan kecanggungan. Air mata ikut meluruh tanpa aba-aba.
"Aku lulus, Ma. Aku lulus!"
Hanya kalimat itu yang menjadi bukti bahwa. Nabilla Kartika bisa meraih mimpi tanpa uang.
Tamat.
Hisnanad Wattpad: Hisnanad28 https://www.wattpad.com/user/Hisnanad28 |
0 komentar