Apa Arti Merdeka?

By Danansih - August 18, 2019


Merdeka punya arti relatif bagi semua orang. Namun, bagiku persepsi merdeka adalah sebuah hal yang sulit untuk digapai. Termasuk untuk terjadi.

Bukan untuk Indonesia. Namun, untukku. Rasanya merdeka sangat sulit untuk menjadi teman. Merdeka selalu menjauh dan ... tenggelam pada rintihan malam.

Untuk anak usia tujuh belas tahun, semua terasa menyenangkan ketika melewati masa remaja dengan berbagai cerita cinta. Aku punya kenangan akan hal itu. Namun, kini ceritanya berbeda.

Ungkapan cinta tidak terkecuali pernah kudapat. Namun, tidak untuk kurasa. Semua lelaki sama saja, itu adalah kalimat yang selalu terngiang di kepala.

Ali, dia kakak. Lebih tepatnya kakak ipar. Lelaki yang selalu perhatian dan telah kuanggap sebagai bagian dari bahagia.

Sesekali saat dia menginap di rumah, pertanyaan dan berbagai perhatian akan terlontar. Tentu saja kutanggapi dengan senang. Ya, aku menyayanginya dan telah menganggap sebagai seorang kakak kandung.

Perhatian itu mulai beranak pinak. Menciptakan rasa bahagia yang tidak lagi terbatas. Aku dan Kak Ali semakin dekat layaknya adik dan kakak.

Kakak kandungku mendukung semua. Senyum manis ikut terbit ketika kami bercanda bersama. Namun, tidak lama badai itu mulai datang.

Mentari yang pernah menjadi sumber kehangatan berubah menjadi api yang sulit dipadamkan. Membakar hingga hangus. Tanpa tersisa tidak terkecuali.

"Kakak suka sama Nay."

Kalimat itu masih belum bisa aku cerna dengan baik. Pada keremangan malam, saat kami duduk di trotoar sepi. Kak Ali mulai mendekat dan memelukku dengan hangat.

Umur tigabelas tahun, aku paham apa? Bahkan perasaan cinta belum pernah terasa sama sekali. Faktor kepolosan membuat otak ini berpikir bahwa rasa suka itu adalah rasa sayang kepada adik. Namun, bukan! Persepsi itu terpatahkan ketika menginjak dua bulan setelahnya.

Kak Ali mulai berani mencoba mendekatiku layaknya seorang kekasih. Rasa risi dan takut menguar tat kala orang tuaku tidak mengendus perilaku mencurigakan itu. Semua berjalan dalam waktu lamban dan siksa batin yang mendalam.

"Naya mau kan sama kakak?"

Dalam keremangan, tubuh kecilku hanya mampu bergeming. Kak Ali hanya pamit kepada Kak Tia untuk mengajakku jalan-jalan. Namun, kenyataannya berbeda. Tidak ada kata jalan-jalan.

Tiap malam saat umurku mulai beranjak, rasa bersalah semakin terpampang nyata. Aku paham telah berdosa. Berdosa pada Allah dan berkhianat pada Kak Tia. Namun, kembali rasa takut mengunci semua.

Di sekolah, tidak ada lagi Naya yang tersenyum ramah. Tidak ada lagi pujian bahwa Naya pintar. Kini, berubah menjadi pertanyaan yang sering berembus.

"Ada apa dengan Naya?"

Pertanyaan itu tertelan angin dan air mata yang tiap malam menetes. Aku tahu semua inu berdosa. Kelakuan Kak Ali semakin menjadi. Keputusan terakhir, aku tidak kuat dan mengadu. Tidak pada Allah, tetapi kepada mama dan papa.

"Kak Ali hampir melecehkanku, Ma."

Kalimat itu meluncur dengan hati berdebar dan bibir bergetar. Air mata ikut lolos turun ketika mama membawaku dalam pelukannya. Perlahan tirai-tirai itu tersibak dengan nyata.

Setelah itu, aku mulai menjauh dari Kak Tia dan Kak Ali. Tidak lagi ada canda di antara kami. Telah terbentang jarak jauh antara aku dan mereka.

"Kamu kenapa, Dek?"

Kak Tia bertanya di sekian hari saat aku menolak diajak pergi Kak Ali. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Ini bukanlah cobaan mudah.

Tiap kali, mimpi buruk datang membelenggu. Menutup mata dan hati tentang bejatnya lelaki. Perlahan semua keyakinan itu memuncak. Meninggi dan mengunci semua rasa dengan dalih bahwa lelaki selalu menyakiti.

Kak Ali marah besar ketika aku menolak ajakannya untuk sekadar jalan-jalan. Murkanya membuat fitnah berturut-turut yang membuat Kak Tia mulai membenciku.

"Naya itu berubah, Sayang. Dia itu mulai menjadi anak berandal dengan pergaulan tidak jelas. Sesekali aku memergoki dia saat pulang sekolah berada di warung."

Sakit saat kalimat tadi tidak sengaja kudengar. Hari Minggu itu Kak Tia memarahiku habis-habisan. Mama mencoba melerai dan pada akhir kesalahpahaman yang jadi simpul.

Jiwaku bergolak. Hampa dan tertekan karena permasalahan Kak Tia dan mama. Tidak ada lagi hawa hangat di rumah kami. Kak Tia pun jarang untuk sekadar menginap lagi.

"Kamu itu harus menghormati Mas Ali, Dek. Jangan jadi durhaka dengannya. Dia itu suami kakak dan dia itu kakak iparmu yang sudah menganggapmu menjadi adiknya sendiri."

Aku kembali terluka karenanya. Tidak ada hari tanpa menangis kala itu. Hampir semua waktu ada air mata yang keluar dari tarangnya. Mama menguatkan, membisikan kata motivasi yang tidak bisa membuka pikiran ini. Semua sia-sia.

Semua masalah tadi berimbas pada masa kini. Saat umurku mulai beranjak dewasa. Rasa takut untuk mengenal kaum adam semakin menjadi.

Tidak pernah ada kata cinta yang kuterima. Semua tertolak. Termasuk untuk sekadar mengenal lelaki saja, rasa enggan menguasai.

Aku memilih bungkam dan terus mencoba untuk membuka diri. Namun, sepertinya trauma inu belum bisa tersembuhkan. Masih ada rasa sakit dan tidak percaya ketika mengingat semua kejadian yang telah berlalu.

Kini, aku tidak lagi mengerti. Apa itu arti kata merdeka ketika bayang-bayang kelam itu mulai menguasai. Tidak lagi paham apa arti merdeka, ketika hati ini terkungkung dalam kelamnya dosa.

Aku tidak mengerti. []

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar