Sahabat

By Danansih - November 29, 2019

sahabat | hisnanad

Ringisan lemah memenuhi ruangan gelap tanpa penerangan. Aku masih setia dengan tugasku. Menusuk dengan jarum tumpul yang membuat ringisan itu semakin menjadi. Semua terasa menyenangkan kala jahitan yang kubuat terlihat rapi dan menutup bagian terbuka itu dengan sempurna.

*

"Sera!" Aku berteriak saat melihat wajah ayu yang tak sekalipun pernah terlupa.

Ia menyipitkan mata. Memindaiku dari ujung kaki hingga unjung kepala. Ekspresinya berubah beberapa menit kemudian. Tanpa kata ia berhambur dan memelukku hangat.

"Apa kabar?" tanyaku saat ia melepas pelukan.

Sera tersenyum dan menampakkan lesung pipi yang membuatnya terlihat manis. Gadis itu tetap terlihat sempurna, meskipun sudah lama kami tidak bertemu. Tanpa jawaban ia menggandeng tanganku menuju ke taman.

"Duduk dulu, Ka!"

Aku terduduk dan masih mengagumi wajah yang masih terlihat cantik itu. Ah, Sera sunggu h beruntung mendapatkan kesempurnaan fisik yang mungkin tidak didapat perempuan lain. Termasuk aku.

"Kabarku baik. Aku senang bisa bertemu teman lama sepertimu!" Tampak rona bahagia yang benar-benar ia tunjukan.

"Kenapa pindah ke sini lagi?" tanyaku memecah keheningan yang ada.

"Karena aku ingin."

Aku tertawa kecil. "Ternyata seorang Sera Puspita masih sama seperti dulu. Selalu penuh rahasia dengan kejutan kecil yang tidak terduga."

Ia tersenyum elegan karena pujian yang kulontarkan. Keheningan kembali menyerang di antara kami. Sera masih sama, tidak banyak bicara dan dingin tanpa penawar.

*

"Sel!"

Sela menoleh dengan wajah tertekuk. Aku lupa karena berbincang dengan Sera hingga lupa dengan Sella. Gadis berkuncir kuda itu mendekat dengan bibir yang mengerucut.

"Dari mana? Aku sendirian tahu!" Sella merajuk dan membuatku tertawa.

"Kenalkan ini namanya Sera Puspita, Sel!"

Aku berkata sembari menoleh ke arah mereka berdua. Seperti biasa, sikap dingin Sera mulai menguar. Sella yang ramah pun mengulurkan tangan.

"Namaku Sella Pricilla."

"Sera Puspita."

Datar kalimat itu terucap dari bibir merah tanpa gincu milik Sera. Sella berusaha tersenyum. Sebuah kejanggalan memenuhi pikiran tatkala bisikan yang kudengar.

"Hati-hati, Ka! Sela mempunyai maksud tertentu untuk berteman denganmu."

Aku menoleh ke arah Sera yang memandang dengan serius ke arah Sella. Selama sekolah di sini, Sella adalah teman terbaik. Namun, kenapa sera memiliki prasangka buruk?

*

"Nilai ulangan tertinggi diraih oleh, Nauka!"

Ruang kelas terdengar riuh. Aku menutup mulut tidak percaya. Bukan apa-apa, kukira ulangan tertinggi kali ini akan diraih oleh Sera. Saat SMP dulu, gadis itu selalu menjadi bintang kelas. Jadi, wajar jika jika rasa heran masih meliputi hati.

"Selamattt!!"

Sella memelukku dengan wajah semringah. Gadis itu tidak peduli jika namanya masih masuk dalam deretan siswa yang ikut remidi. Sama halnya dengan Sella, Sera menatapku dan mengacungkan dua jempol.

Aku tersenyum dan berjalan ke depan kelas. Mengambil lembaran dengan senyum manis. Namun, hal itu tidak berlangsung lama ketika sebuah tarikan diiringi teriakan memenuhi ruangan.

Suasana kelas menjadi tegang saat aku membulatkan mata. Kipas angin yang berada di plafon mendadak terjatuh. Hampir saja mengenaiku, jika Sera tidak segera menolong.

"Kamu tidak apa?" Ia bertanya di sela napasku yang masih memburu.

Darah segar tercecer dari lengannya. Tanpa sempat menjawab pertanyaan, Sera dibawa ke UKS. Sella berusaha menenangkanku dengan kalimat halusnya. Ada yang tidak beres di sini.

*

"Sampah!"

Satu kata itu membuatku mendongak. Sella telah berada di hadapan dengan wajah memerah. Belum sempat satu kalimat terlontar, ia kembali berbicara.

"Apa maumu, sih, Ka? Aku itu enggak pernah ngelakuin apa-apa ke kamu. Terus kenapa kamu nuduh aku sembarangan?"

"Emangnya aku nuduh apa, Sel?" tanyaku tidak mengerti.

"Stop!"

Perdebatan kami terhenti saat Sera datang. Gadis itu bersidekap dengan wajah sinis yang memandang Sella. Tanpa kata bunyi tamparan keras terdengar di penjuru ruangan. Semua perhatian para murid tertuju pada kamu bertiga.

"Kamu masih mau ngelak? Bukti ini kurang cukup?"

Kalung dengan huruf "SR" yang kukenal berada di tangan Sera. Seketika mata Sella terbelalak. Menatap kami berdua seraca bergantian.

"Kemarin saat kejadian jatuhnya kipas angin, aku menemukan kalung ini bertengger manis ti salah satu sisinya. Jadi katakan ini sebuah kesalahpahaman atau jebakan!"

Aku menganga tidak percaya. Menatap dua orang yang ekspresinya tidak bisa ditebak sama sekali. Sera tersenyum miring.

"Jadi katakan, Sel! Katakan mana yang perlu aku jabarkan lagi?"

"A—aku—"

"Kamu melakukannya, Sel?" Aku bertanya dengan nada yang tidak percaya.

"Beginilah, Ka! Gadis yang selama ini kamu anggap sebagai kawan. Bukankah kawan bisa menjadi musuh dalam diam?"

Aku tercenung dan mengabaikan semua penjelasan Sella. Situasi ini sangat sulit dan tidak bisa diterima akal sehat. Lalu, mana sisi yang perlu dipercaya.

*

Gudang sekolah terlampau sepi dengan cahaya ala kadarnya. Bulu romaku berdiri tatkala embusan angin terasa membelai. Mungkin hari ini memang rencana itu akan terjadi.

Deritan pintu terdengar samar. Semua sudah tersiap saat tawa renyah terdengar memalukan. Penghianat yang selama ini bersembunyi telah ada di belakang.

Cklek!

Sepertinya pintu gudang telah dikunci. Derap langkah dengan suara tawa menggelegar kian mendekat. Aku menoleh, menatap rambut panjang hitam pekat yang tergerai. Menggoda untuk digunduli.

"Apa kabar?"

Sera berkata seraya mengacungkan pisau lipat secara tiba-tiba. Nahasnya, aku bisa membaca gerakan itu. Selain menghindar, aku mengunci pergerakannya dari belakang.

"Aku sedang tidak baik, Sera!" Aku berkata seraya membelai pipi mulut itu dengan pisau lipat yang ia pegang.

"Apa maksudmu?" tanyanya dengan ekspresi yang berbeda.

"Hah! Jangan lupa, Sayang. Aku selalu mengingat perkataanmu bahwa teman bisa menjadi musuh dalam diam. See, di sini penghianat adalah dirimu!"

"Arghhh!" Ia meringis kala darah mengalir dari pipinya.

"Jangan bernyanyi, Sera. Nyanyianmu membuatku ingin membunuhmu!"

Aku masih bermain-main hingga ringisan berikutnya memenuhi ruangan. Gadis sempurna itu tidak berdaya dengan luka gores di mana-mana. Aku tersenyum senang melihat ia tumbang ke lantai.

"Jangan kamu kira aku tidak tahu. Kamu menuduh Sella untuk menutupi semua kebusukanmu. Ingat, Sayang. Sabotase yang kamu buat masih berjejak sidik jari. Jadi, jangan main-main dengan orang ramah yang marahnya tidak terduga."

"Arghhh!"

Ringisan itu terdengar nyaring bersama senyum lebar yang tercetak. "Sakit, ya? Berapa korbanmu dari sekolah ke sekolah. Aku tahu kamu ingin hidup sebagai murid tercerdas di sini. Namun bukan dengan cara membunuh murid terpintar, Sera! Kamu harus belajar."

Sebuah benda yang kusimpan akhirnya keluar. "Belajar diam dan jangan meremehkan!"

"Ishhh!!"

"Belajar mempercantik hati dan otak bukan mempercantik rupa yang kamu sombongkan di mana-mana!"

Bersamaan itu pisau lipat tertancap di dadanya. Semua selesai.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar