Stay Here

By Danansih - September 04, 2019


Apa yang diharapkan dari seorang aku? Wanita penuh dosa, tidak memiliki kelebihan, dan memiliki segudang kekurangan. Ah, bukan hanya itu, masih banyak sisi kelam yang tertutup rapat dalam derap langkah seorang Nania.

"Nania itu pintar."

"Nania itu cantik."

"Nania itu baik."

"Nania itu muslimah sejati."

"Nania itu alim."

Hampir setiap langkah akan ada pujian yang terlontar. Dari bisikan hingga secara terang-terangan. Bukan sekali, tetapi setiap kali.

Ah andai pujian itu bisa membuatku melayang, tetapi nyatanya pujian itu justru membuat diriku semakin terperosok ke dalam jurang curam. Tidak ada yang tahu di balik semua kelebihan yang ada, seorang Nania memiliki sisi kelam. Memiliki segudang dosa yang jika Allah bisa memperlihatkannya, maka wajah yang semula cantik jelita akan berubah menjadi buruk rupa.

"Nania itu sempurna pasti nanti mendapat calon suami yang baik."

Aku mengamini dalam hati. Meskipun ada perasaan getir yang tak berujung kembali datang untuk sekadar menghampiri. Di mana pun lelaki pasti menginginkan wanita yang memiliki banyak kelebihan. Selain cantik, mungkin juga tentang kesucian.

"Nania apa kamu sudah tahu kalau besok ada acara?"

Vera datang dengan wajah bahagia. Di netranya ada pancaran tulus. Aku dapat menangkapnya.

"Aku tahu," ujarku sedikit lirih.

Kembali teringat tentang dia, ya, Vera akan menikah satu bulan lagi dengan lelaki yang dicintai. Lalu, aku, apa kabar dengan peerasaan cinta yang dulu pertama singgah membawa luka? Apa kabar dengan perasaan percaya yang patah untuk kesekian kalinya?

Aku hanya Nania yang telah lupa dengan kata cinta dan rasanya. Ada tiga cinta yang masih kubiarkan ada, yaitu, cinta untuk Allah, untuk orang tua, dan untuk kakak. Selain itu, tidak ada celah untuk cinta datang bertakhta.

"Nania!"

Aku tergagap dengan panggilan Vera. Sedikit menarik senyuman, aku mengangguk. Membiarkan pikiran ini berkelana tentang calon imam terbaik. Lantas apa Allah akan menyandingkan wanita pendosa dengan lelaki paham agama? Ah, Nania terlalu berharap, 'kan?!

*

"Jadi apa?"

Lelaki itu hanya menyandarkan punggung ke tembok dengan mata memejam. Dia tidak akan peduli seberapa jengkel hati ini karena sikap beku itu.

"Danang!" Aku berujar ketus sembari menahan emosi yang meluap-luap.

"Apa?"

"Maksudmu, kamu mau resign dari bagian manajer?"

"Hmmm." Ia bergumam tidak jelas.

Aku berdecak sambil memijat pelipis. "Apa tidak bisa diundur?"

"Nope!"

Aku mengangguk dan mulai menggerakkan pena ke kertas putih itu. Pada akhirnya aku harus kehilangan lelaki yang sedikit terpercaya. Dia adalah Danang Pratama.

"Done! Pergi sekarang!" titahku ketus.

Ia mengangguk tanpa dosa. Lelaki itu sungguh memiliki sifat sedatar papan. Tidak berselang lama, Vera datang ke ruanganku. Kali ini dengan wajah cerah untuk kesekian kali.

"Mamamu akan ke sini, Nan!"

Aku tersenyum. Namun, setelah kalimat yang terucap dari Vera kembali menggema sebuah rasa getir menyelinap.

"Dia datang bersama Abimanyu, calon suamimu."

Entah kenapa kosa kata "calon suamimu" terdengar asing. Seasing rasa tidak nyaman yang mulai merambat di hati. Selain itu ada rasa ragu jika lelaki itu tahu bahwa ada kekuranganku yang tidak bisa ditoleransi.

"Nania!"

Seulas senyum dusta kembali terpatri. Tanpa kata Vera menggandeng tanganku menuju ruang depan. Pemuda gagah dengan wajah menawan telah duduk bersama mama.

"Nania!"

Sebuah panggilang lembut hampir saja membuat air mataku turun. Namun, sebisa mungkin rasa haru kembali terkendalikan. Apa lagi seorang Nania pantang menangis di hadapan lelaki lain.

"Ini Abimanyu."

Lelaki itu tersenyum santun. Biasa. Tidak ada getar tersendiri saat senyum itu terbit. Apa lagi mengingat kejadian yang telah berlalu. Sakit, itu pasti. Dikhianati oleh orang terpercaya dengan lelaki yang kucintai.

"Nania."

Sapaan lembut itu kembali mengalun di telinga. Singkat cerita, Abimanyu tengah mencoba menarik perhatianku untuk bercerita. Namun, untuk saat ini aku hanya bisa merespon dengan kalimat patah-patah yang selalu bernada setuju.

"Apa ada masalah?"

Baiklah, Abimanyu bertanya dengan wajah teduh. Seolah lautan samudera telah berkumpul di netranya. Aku hanya mengangguk sekilas sembari menatap ubin.

"Why, Nania? Apa kamu tidak suka pertemuan ini?"

"Nope, hanya ada satu pertanyaan kecil yang mengganjal."

Kali ini Abimanyu tampak mengerutkan kening mencoba mencerna kalimatku tadi, mungkin. Setelah itu sebuah senyum hambar kembali terbit di bibirnya. Tanpa kata sebuah pertanyaan sedikit membuatku terusik.

"Kenapa? Apa ada suatu rahasia sebelum kita melanjutkan ke jenjang yang lebih serius."

"Ada!"

Aku sudah lelah berbasa-basi dengan lelaki. Apalagi tentang status kelam ini. Ah lebih tepatnya masa lalu seorang Nania.

"Aku memiliki rahasia besar sebelumnya. Jika kamu ingin membuat pertimbangan untuk langkah ke depannya maka lakukanlah!"

Abimanyu mengangguk masih dengan senyuman. Namun aku tahu pasti senyuman itu akan luruh ketika kalimat yang tengah tertahan telah terucap. Perlahan dengan pasti aku merapalkan doa dalam hati.

"Aku memiliki masa lalu kelam. Aku bukanlah janda dan aku bukan perawan. Lebih tepatnya mahkotaku telah tercuri. Apa kamu bisa menikah tanpa status suci?"

Abimanyu tersedak ludahnya sendiri. Lelaki itu terbatuk-batuk dan membuat senyum kecutku terbit. Pastilah tidak akan ada lelaki yang mau menerima ini, meskipun semua bukan salahku, tetapi semua tidak merubah segalanya. Nania bukan perawan dan gadis yang suci lagi.

"Aku tahu kamu akan menolakku—"

"Aku bersedia."

Ada binar ketulusan dari wajah Abimanyu. Mau tidak mau ada rasa harap agar cinta mulai tumbuh di hati ini lagi. Apalagi setelah perbincangan singkat itu, ia mengatakan akan segera melaksanakan akad.

Apa boleh aku bahagia, Allah?

*

Gaun pengantin dengan make up sedemikian rupa telah siap sedia. Namun, saat mentari kian terik belum ada tanda-tanda dia, lelaki harapanku, hadir di tengah bisingnya pesta. Mama dan papa mulai gelisah, apalagi aku yang tengah berusaha menghubungi Abimanyu.

Tetap saja saat aku memanggil ponselnya tidak ada jawaban. Suasana bisik-bisik mulai terdengar riuh dari teman seperjuangan. Kolega bisnis yang kebetulan hadir dan tidak suka kepadaku memperkeruh suasana.

Sebuah paket datang membuat tanda tanya di kepalaku semakin besar. Tepat satu set baju pengantin pria telah tertata rapi dengan secarik kertas yang terpampang indah. Sedikit bergetar aku mulai meraihnya. Membaca tiap aksara yang perlahan menikam hati menjadi mati rasa.

[Maafkan aku. Aku tidak bisa datang, aku kira bisa menerimamu. Namun kenyataannya sulit. Butuh waktu hingga aku memutuskan untuk pergi. Maaf.]

Bulir bening perlahan turun. Bersamaan dengan itu aku meremas kasar surat tadi. Setelahnya hanya keheningan dan gelap yang menjadi saksi, kepercayaan Nania telah patah untuk terakhir kali.

*

"Nania."

Lembut suara itu mengalun bersamaan dengan kelopak mataku yang terbuka. Ada seorang lelaki yang samar-samar mendekap erat. Tanpa kata satu kecupan mampir di keningku.

"Astagfirullah."

Aku berjingkat. Sembari mencari jilbab yang tiba-tiba hilang dari kepala. Lelaki itu tersenyum untuk pertama kalinya.

"Why? Keluar! Kenapa kamu di sini?"

Rasanya aku ingin menangis. Sebelum itu sebuah cekalan membuatku terhuyung ke dekapannya. Sebelum amarah ini memuncak sebuah kalimat ajaib terucap.

"Aku suamimu."

Aku terduduk menatap wajah dingin itu dengan tatapan tanya. Banyak pertanyaan yang ada di kepala. Salah satunya, kenapa bisa dia?

"Kenapa bisa?"

Perlahan satu cerita mengalir. Aku tahu, tanpa kata bahwa di balik sikap dingin Danang, lelaki itu memiliki kehangatan yang tidak bisa dibayar. Terkadang ada getar tersendiri ketika kalimat sarkas keluar dari mulutnya.

"Jadi?"

"Seberapa pun kamu melangkah menjauh, seberapa itu pula Allah mendekatkan kita. Because i and you are we. Jika jodoh tidak akan ke mana."

Lihatlah tanpa aba-aba lelaki itu kembali mendekapku. Seolah lupa dengan kalimat sarkas yang terkadang mampir keluar dari mulutnya. Allah terkadang memberi takdir yang tidak terduga.

"Jangan melamun, Nan!"

Kalimat itu terlontar dengan senyum manisnya. Lelaki itu entah harus dengan kalimat apa aku mendeskripsikannya. Baik, pengertian, sabar, dan tidak pernah lelah untuk mencintaiku.

Ya, aku tahu ada tatapan cinta yang lama terpendam di binar matanya. Namun, rasa tidak pantas memenuhi hati ketika sebuah pertanyaan hadir di relung hati. Aku bukanlah wanita suci dan dia lelaki yang baik hati.

"Allah mengajarkan kita untuk melihat sesuatu dari positifnya. Kamu itu memiliki mahkota yang tidak akan pernah tercuri."

"Aku sudah—"

"Kamu punya kebaikan, Nan. Itu sudah cukup menjadi mahkota wanita."

Lihatlah, untuk kesekian kalinya aku kembali bimbang untuk tetap tinggal bersama perasaan yang mulai ada atau pergi perlahan secara diam-diam.

"Jangan pergi. Stay here!"

Aku terpaku dengan kalimat yang diucapkan. Seolah lelaki itu dapat mengerti apa yang kupikirkan. Tanpa banyak kata ia kembali membuat debar di dada.

"Stay here. Always remember we are you and me."

Setelah itu aku tahu harus tinggal. Tetap tinggal, tetapi akan pergi jika dia yang meminta.

Thanks a lot, Danang. About all. You care with me everywhen. You calm if i angry. And than yo can understand me in various situation.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar