Dear Danang

By Danansih - August 20, 2019

Dear danang


"Dia mau nikahin kamu, Mel!"

Seketika aku tersedak. Oh ayolah, ini bukan prank atau apa pun. Namun, mama seperti serius mengatakannya. Wanita paruh baya itu memang tidak mengerti. Bisa saja lelaki di hadapan ini hanya ingin hartaku saja. Secara dunia sudah mengakui kisah kelam yang telah menjadi catatan dosa untuk seorang Melli.

"Hah! Melli enggak mau, Ma. Dengar ya, Mas atau siapa pun nama kamu aku enggak peduli! Pertama saya ini wanita kotor, ke dua saya adalah seorang janda, dan ke tiga saya tahu kamu menikahi saya untuk harta. Cih, saya enggak sudi!"

Di luar dugaan lelaki berkacamata itu masih menunduk dengan wajah kalemnya. Aku yakin kata-kata yang terucap tadi sudah memiliki tingkat kepedasan level teratas. Namun, aneh tetapi nyata. Tidak ada gurat emosi yang ada di wajah lempeng lelaki itu.

"Saya enggak menikahi kamu karena harta. Tentang masa lalumu, saya tidak peduli. Menikah adalah ibadah dan saya ingin separuh agama saya disempurnakan oleh kamu."

Wah, baiklah aku tertarik. Sambil berusaha menahan senyum devil, aku kembali duduk dan menatap lelaki yang kepalanya terus menunduk di hadapan. Tanpa kata dan pertimbangan, tetapi dengan satu tujuan kalimat sakral keluar.

"Baiklah, aku mau menerima lamarannya!"

Mama memelukku erat. Terdengar ucapan hamdallah keluar dari mulut lelaki itu. Ah, aku tidak percaya. Tujuan menerima pernikahan ini hanyalah untuk membuktikan bahwa semua lelaki sama saja. Tunggu saja saat permainan ini dimulai!

*

Bisik-bisik tetangga membuatku jengah. Bagaimana bisa mereka menganggap pernikahan ini adalah anugerah terindah. Padahal terpampang nyata pernikahan ini adalah drama.

"Beruntung kamu Mel bisa bersatu sama Danang!"

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Telinga ini hampir tuli karena pujian yang terus terdengar dan ditujukan pada suamiku, Danang Pratama. Ah tidak dia hanya lelaki lemah.

"Oh iya, satu lagi, Mel. Kamu harus bersyukur bisa menikah dengan Danang yang notabene lelaki baik—"

"Jadi apa aku bukan wanita baik, An?"

"Bukan begitu maksudku, Mel. Jarang lelaki yang mau menerima kondisi kelam istrinya seperti kamu!"

Kali ini berbeda. Entah kenapa Ana mengatakan kalimat yang membuat keningku berkerut. Danang tidak punya kelebihan sama sekali menurutku. Apa mata semua orang buta? Jika bersanding dengan seorang Melli Prameswari tentulah akan seperti Upik Abu dan Tuan Putri.

Setelah menahan rasa lelah, acara resepsi selesai. Azril telah diboyong mama ke kamarnya. Mungkin wanita paruh baya itu mengira akan terjadi malam pertama. Ah, tidak! Tidak akan terjadi, karena aku selalu membenci lelaki termasuk Danang.

"Apa kamu lelah?"

Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut lelaki yang sekarang berstatus sebagai suamiku. Mungkin dia kurang waras hingga mengeluarkan basa basi yang terlalu busuk. Aku mengangguk sambil bergumam.

"Malam ini, kamu tidur di sofa!" ujarku sebelum masuk ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi aku bersorak riang. Jaminan penderitaan akan didapat oleh Danang. Lelaki itu tidak akan pernah betah untuk tinggal. Bukankah lelaki itu pembawa luka termasuk dia?

*

"Gila! Sumpah kamu gila, Mel!"

Ana berseru ketika aku menceritakan semua yang terjadi selama tiga bulan ini. Wanita itu memijit pelipisnya. Tidak tahukah dia bahwa temannya ini sedang bahagia?

"Kenapa, An? Aku baik! Sangat baik! Sudah sepantasnya dia diperlakukan seperti itu."

"Kamu gila, Mel,"–Ana mendudukkan tubuhnya ke kursi dengan kasar–"kamu terlampau gila sampai enggak melihat cinta suami sempurna seperti Danang!"

Aku tertawa pongah sejak kapan lelaki lembek semacam Danang menjadi lelaki sempurna. Itu adalah mimpi di siang hari. Tidak akan pernah terjadi sampai kapan pun. Aku yakin.

"Jangan tertawa, Mel. Coba gunakan otak kamu, siapa lelaki yang mau menerima kekuranganmu di masa lalu. Bukan bermaksud menghina, tetapi kamu sudah janda tanpa menikah. Dulu, hamil di luar nikah.

"Siapa lelaki yang mau menerima kamu selain Danang? Menurutku tidak ada! Satu lagi, dia menuruti perintahmu bukan karena dia lelaki lemah. Namun, dia itu memuliakanmu sebagai istrinya, Mel! Sadar!"

Aku terdiam sambil menyesap kopi yang ada di meja kerja. Pikiran ini melayang tentang semua yang terjadi. Danang, lelaki yang seharusnya mencari nafkah aku paksa untuk mengurus rumah. Selain itu, banyak luka yang telah sengaja aku gores di hatinya.

Apa benar dia bukan lelaki lemah?

*

Angin malam berembus pelan. Pada pukul sembilan malam seperti ini sudah jarang ada angkutan umum. Sekarang aku terjebak di halte sendirian dengan perasaan was-was. Belum sempat bernapas lega, suara seseorang kembali menyapa.

"Hai Nona! Ayo ikut kami!"

Dua orang preman itu menarik lenganku tanpa aba-aba. Percuma aku berteriak keras, karena tidak ada tanda-tanda ada orang di sini.

"Kalian mau apakan wanita itu?"

Suara ramah yang terkadang kujawab dengan ketus kini terdengar. Telah berdiri lelaki tinggi dan sedikit kurus itu dengan mata tajam. Baiklah, drama kembali dimulai. Aku tahu Danang akan menyelamatkan istrinya ini. Namun, lihatlah kenyatannya.

Kedua preman tadi adu pukul dengan Danang. Lelaki itu memang lemah hingga hanya bisa menangkis dan membalas beberapa pukulan saja. Setelah itu kedua preman itu bisa pergi karena aku telah memanggil polisi.

"Hanya orang bodoh yang mau menghilangkan nyawa karena wanita yang tidak peduli padanya. Termasuk kamu, Danang Pratama!" ketusku sambil menatap lelaki itu tajam.

Terdapat banyak luka di wajahnya. Namun, tetap saja aku tidak peduli. Bagus juga, jadi aku tidak perlu menyakiti lahirnya cukup batin.

"Saya punya alasan, karena saya suamimu mau tidak mau kamu adalah istri saya. Sebagai seorang suami harus bisa menjaga istrinya!"

Aku melenggang pergi. Membiarkan kata-kata Danang hilang ditelan keheningan juga angin malam. Melli Prameswari tidak akan percaya lelaki. Meskipun Danang sekalipun.

*

Mimpi itu kembali datang ketika para penjahat tertawa. Tanpa rasa iba merampas mahkota yang tidak pernah tersentuh. Sakit itu pasti. Butuh waktu setahun untuk kembali menjadi orang normal sekaligus seorang ibu tanpa suami di mata masyarakat. Selain itu, luka tentang cinta yang selalu berdusta masih melekat di hati. Sampai kini.

Aku mendesis ketika merasakan sebuah jarum telah menusuk jari telunjuk ini karena lamunan masa lalu tadi. "Hati-hati, Mel!"

Suara siapa lagi yang terdengar jika bukan Danang. Lelaki itu melihat jemariku. Sebenarnya jijik juga karena disentuh olehnya. Namun, entah kenapa dada ini berdesir menatap wajah yang masih penuh dengan luka lebam.

"Biar aku yang  menjahitkan baju untukmu, Mel. Kamu cepatlah mandi!"

Setelah ity aku pergi tanpa mengucap terima kasih. Lelaki itu, sudah genap empat bulan menjadi babuku. Pembantu sekaligus pengasuh Azril.

*

Pukul empat sore. Waktu untuk pulang ke rumah. Semua hadiah mainan untuk Azril telah kubawa dengan senyum senang. Namun, saat kaki ini menyeberang jalan sebuah klakson terdengar nyaring. Terasa sebuah hantaman dan kemudian gelap.

*

"Mel, makanlah!"

Suara lembut itu tidak membuat pikiranku kembali. Masih ada ratap sekaligus duka yang mengiris hati. Jika dulu untuk berjalan di tengah kerumunan orang, maka akulah yang menjadi sorotan. Kini, sorotan mata kagum berubah menjadi iba. Kecelakaan sore itu benar-benar membuat duniaku hancur.

"Mel."

Aku menyentak tangan yang terulur untuk menyuapiku. Semua nasi telah tercecer di lantai. Bersamaan dengan itu sebuah bulir bening menetes di pipi.

"Mel."

Setelah menepis sendok, aku kembali menepis tangan Danang yang berusaha menghapus air mata ini. Lelaki itu tidak akan pernah paham. Bahwa aku kembali menderita untuk kesekian kali.

*
Malam kian meninggi. Tidak ada kata bahagia dalam kamus Melli Prameswari. Meskipun lelaki yang berstatus suamiku tetap saja tinggal. Namun, duniaku tetap hancur.

Rasa bingung menggelayut ketika rasa ingin buang air kecil hinggap. Aku melirik Danang yang tertidur di sofa. Entahlah, rasa bingung pun ikut melanda. Tidak mengerti dengan lelaki itu yang terus berbuat baik padaku.

"Apa kamu belum tidur, Mel?"

Aku segera membuang muka. Semoga Danang tidak mengetahui bahwa aku menatap dirinya. Lelaki itu berjalan mendekat sambil sempoyongan.

"Apa kamu perlu sesuatu?"

Baiklah, untuk kali ini rasa gengsiku turun. "Aku ingin ke kamar mandi."

Tanpa kata tangan biasa itu menyelip di kaki dan punggungku. Ajaib, tangan ini ikut melingkar di leher Danang. Lelaki itu memperlakukanku dengan hati-hati. Seperti barang pecah belah yang mudah retak. Untuk kali ini entah mengapa ia terlihat berbeda.

*

Lima bulan berlalu. Seperti biasa, Danang akan meninggakanku dengan seorang pengurus. Lelaki itu akan bekerja sampai tengah malam atau terkadang juga tidak pulang. Namun, rasa peduli yang pernah hinggap kembali kutepis.

"Mungkin, aku akan pulang besok, Mel!"

Tidak terasa telah satu tahun menikah. Namun, hubungan kami tidak selayaknya suami istri. Danang tetap baik dan aku hanya bisa menanggapinya dengan kasar.

"Terserah. Aku tidak peduli!"

Ia tersenyum dan mengucapkan salam. Entah siapa lelaki itu hingga selalu berperilaku baik kepadaku. Sebenarnya ada rasa sakit yang ikut melanda ketika kata kasar keluar dari mulut ini. Namun, kembali rasa tidak peduli menguasai hati.

*

"Nya! Nyonya!"

Aku tergagap dengan mimpiku. Bik Ijah tengah berdiri dengan wajah tegang. Sedikit malas aku mengeluarkan suara.

"Ada apa?"

Suara itu tertelah oleh angin karena telingaku tiba-tiba merasa tuli. Kabar ini sungguh mengejutkan. Tidak ada yang menyesal kecuali aku.

*

"Dia lelaki hebat yang tanpa keahlian bela diri pun bisa menyelamatkan saya, Bu. Anda sangat beruntung memiliki suami seperti dia."

Ocehan itu berulang kali mampir menyapa di telinga. Kejadian itu kembali terulang lagi. Jika dulu, Danang menolongku dari preman, maka kini lelaki itu melawan begal. Tanpa membawa satupun senjata. Bisa dibayangkan, sekarang ia tengah berbaring dengan selang infus di tangan.

Tidak hanya luka lebam, tetapi juga sayatan benda tajam. Rasa ngilu menjalar saat melihat tangan kurus itu terluka. Dari jendela kaca netraku bisa melihatnya. Ah, entah ada apa denganku ini.

Pikiran tentang perlakuannya yang baik dan tidak pernah membuatku sakit kembali berkelebat. Ternyata aku salah menduga. Danang bukan lelaki lemah seperti yang sempat terpikirkan. Namun, ia lelaki hebat seperti yang Ana katakan.

"Bagaimana keadaan anak ibu, Mel?"

Sedikir terburu aku mengusap air mata yang tidak sengaja mengalir. "Suamiku sedang melewati masa kritis."

Wanita paruh baya itu tersenyum dengan mata berkaca. Ia memelukku tanpa kata. Perlahan bisikan itu membuat aku merasa menjadi wanita teristimewa di dunia.

"Terima kasih telah mau menjadi istri Danang, Mel. Dia mencintaimu sejak lama. Maafkan atas kesalahannya...."

Setelah itu ada jeda yang menyisakan tanya bersamaan dengan para perawat yang masuk ke kamar Danang.

"Ikhlaskan dia, Nak. Maafkan Danang. Dia sudah tidak lagi mampu membuka mata."

Jelas. Kalimat ity telah terucap serupa dengan aliran listrik yang menyengat. Air mata ini turun tanpa diminta. Bahkan Danang pergi sebelum aku menjadi seorang istri sepenuhnya. Entah sejak kapan isak tangisku terdengar.

Aku adalah wanita bodoh yang tidak pernah merasakan bersyukur. Buta karena luka. Kini, kesalahan terakhir adalah menyia-nyiakan lelaki hebat seperti suamiku.

Sesak melanda. Mengambil alih semua. Aku kembali menangis dan menumpahkan air mata.

Sebuah pertanyaan muncul di kepala. Tentang kenapa saat aku mulai menerima Danang sebagai suami, Tuhan justru memangilnya? Namun, satu kalimat yang tidak pernah terucap untuk lelaki itu. Dia telah menjadi suami seutuhnya di mataku.

Titimangsa Bojonegoro, 10 Agustus 2019

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar