Cerpen : ASING

By Danansih - August 24, 2019

Cerpen : ASING

Teriakan berasal dari rumah membuat diriku mengerutkan dahi. Berjalan mengendap aku mulai melangkah memasuki rumah. Tidak seperti biasanya Mama dan Papa bertengkar sampai berteriak seperti ini. Apalagi kini mereka terdengar saling memaki.

Aku berusaha tenang sambil menggenggam sertifikat juara olimpiade. Suara lemparan barang pecah belah semakin menjadi. Keputusan terakhir, aku bersembunyi di balik kursi sofa merah usang di ruang tamu.

"Apa kurangku sebagai seorang istri, Pa?" tanya mama dengan tangis histeris.

Hening. Peluh dingin merembes di sekujur tubuhku. Rasa takut kian menguasai mendengar barang pecah untuk kesekian kali.

"Aku muak denganmu. Aku bosan. Aku ingin cerai!" bentak papa.

Gendang telingaku serasa tuli. Tidak lagi mampu mendengar itu. Remaja berumur 16 tahun sepertiku paham apa maksud dari ucapan papa tadi. Sebisa mungkin di dalam hati, doa agar rumah tangga papa dan mama tetap baik-baik saja terlantunkan.

"Apa Papa sudah memiliki yang baru?" tanya mama.

"Aku sudah memiliki yang baru, Ma. Aku ingin cepat menceraikan kamu!" ujar papa dengan nada tinggi.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Langkah kaki papa terdengar. Sedikit gemetar aku keluar dan menghadang langkah papa. Terlihat di kedua netranya, ada kilat amarah yang masih menjadi.

"Papa, Ina mohon jangan ceraikan mama," ujarku pelan.

Aku mengira lelaki yang telah membesarkanku itu luluh. Nyatanya aku salah besar, ia mendorong tubuh ini hingga terhuyung. Jatuh di lantai. Sedikit mengerjap tidak percaya, Papa memicingkan mata.

"Minggir! Aku tidak suka dibantah!"

Setelah itu sedu sedan mama masih terdengar. Aku melihat sertifikat juara olimpiade di tangan. Semua perjuangan sudah sia-sia.

*

Rumah mewah di kompleks elit kini terasa hampa. Tidak ada rasa sayang yang mampu menghangatkan. Mama lebih memilih keluar pagi dan pulang larut malam, sedangkan papa bahkan tidak pernah pulang. Di rumah megah ini aku sendiri. Mbok Minah, pembantu kami telah pulang sore tadi.

Pertengkaran terakhir mama dan papa masih terngiang. Tepat saat kemarin, seorang telah mengirimkan sebuah map. Aku tahu, isinya adalah surat cerai. Mama pun tidak berkata banyak dan langsung membubuhkan tanda tangan. Sepertinya mama dan papa memang sudah tidak bisa akur lagi.

Suara teriakan di lantai bawah mengusik diriku. Melihat jam yang menunjukkan pukul sepuluh malam, aku mengira ada perampok. Dugaan tadi salah, karena kini terlihat mama dan papa saling memaki lagi.

"Oh, jadi kamu sudah ada yang baru! Bagus, baru kemarin kita bercerai, kamu sudah bisa memiliki yang baru!" ujar Papa dengan nada tinggi.

Lelaki di samping mama hanya mengeratkan pelukannya. Wajah mama berubah memerah ketika Papa mengucapkan kalimat itu. Aku masih diam di tempatku, tidak berani turun karena takut hati ini semakin sakit.

"Apa kamu kira hanya kamu yang bisa mencari yang baru? Aku juga bisa! Kita sudah cerai, kenapa kamu ke sini lagi?"

"Aku ingin Ina bersamaku!"

Aku mematung. Seperti cerita teman-teman sekelas. Mereka yang orangtuanya bercerai akan ditanyai satu hal yang menyakitkan yaitu pertanyaan ingin ikut siapa. Kuputuskan untuk turun ke bawah. Melihat apa yang akan dilakukan papa dan mama.

"Nah, Ina sudah ada di sini. Sekarang kamu tinggal pilih, Sayang. Ingin tinggal dengan mama atau dengan papa?" tanya papa.

Aku masih terdiam. Tidak ada kemungkinan untuk memilih tinggal dengan keduanya.

"Apa tidak ada pilihan lain?"

"Tidak ada Ina. Sekarang kamu lebih baik ikut mama."

"Enggak bisa, dia juga anakku. Ina harus ikut aku," ujar Papa.

"Lebih baik digilir. Selama seminggu aku akan tinggal dengan mama dan seminggu berikutnya dengan papa."

Mereka mengangguk. Tidak tahu, bahwa mengatakan kalimat tadi, ada luka yang mengiris hati.  Setelah itu, papa pulang, sedangkan mama kembali pergi dengan lelakinya. Aku hanya sendiri.

*

Selama seminggu aku merasakan hampa di rumah mama. Tidak ada sapaan selamat pagi seperti sebelumnya. Hanya ada Mbok Minah yang selalu bertanya apa keperluanku. Setelah itu keheningan yang mengisi di rumah mewah ini.

Mama seakan tidak ada waktu. Wanita itu bekerja tiap hari, tanpa jeda. Pergi pagi buta dan pulang tengah malam.

Pernah dalam seminggu ini, saat diriku tidak sengaja terbangun larut malam. Mama kembali membawa lelaki tempo hari ke rumah. Dugaan bahwa itu pengganti papa semakin menjadi.

Kini tepat pukul enam malam, mama datang. Tidak lupa bergandengan tangan dengan lelakinya. Tanpa dosa wanita itu menampakkan senyum bahagianya.

"Dia akan menjadi ayahmu, Na."

Aku tidak bisa berkata. Hanya bisa mengangguk. Selain itu, aku segera pergi. Terlalu sesak jika harus menjabarkan bagaimana rasanya menerima orang asing masuk ke dalam kehidupan ini. Apalagi, status yang disandang adalah untuk menggantikan papa.

*

Seminggu kemudian, aku pindah ke rumah papa. Suasananya tidak jauh berbeda dari rumah mama. Namun, lebih menyeramkan ketika bertemu dengan wanita dengan anaknya yang hampir sebaya dengan diriku.

"Ina, perkenalkan ini juga mamamu. Namanya Ana," ujar papa.

Aku mengangguk. Rasa sakit tetap sama. Seperti saat mama memperkenalkan lelaki tempo hari sebagai calon papa baru. Namun, di sini, aku harus memanggil wanita di hadapan dengan sebutan mama. Sungguh rasa sakit tidak mampu kuhindari.

Sebulan penuh aku mencoba beradaptasi. Di rumah papa maupun mama. Namun, tetap saja orang asing yang masuk dalam lingkup keluargaku, seperti tidak menginginkan diriku ada.

Mama sering abai jika aku di rumahnya. Ia pun telah menikah dengan lelakinya. Menurut informasi dari Mbok Minah, mama lebih sering menghabiskan waktu di rumah suami barunya. Kenyataan itu menampar diriku.

Papa, lelaki itu lebih sering bertanya kepada Andin, anak dari Tante Ana. Di meja makan, papa sering menceritakan kecerdasan Andin. Entah, untuk apa, yang pasti ada rasa nyeri ketika pujian itu terlontarkan terang-terangan kepada Andin. Selama ini, papa jarang melontarkan pujian itu pada diriku.

Di kedua rumah itu aku merasa asing. Aku sering menyendiri kala malam. Serasa diriku tidak lagi punya siapa-siapa.

Malam mulai memekat. Semua pakaianku telah tersusun rapi di koper. Jujur, hal ini kulakukan karena sudah lelah. Dulu, mama dan papa berebut hak asuh. Namun, sekarang mereka seakan lupa. Lebih mementingkan dunia barunya, daripada anak semata wayangnya.

*

Pukul enam pagi. Semua terasa berbeda. Ada senyum yang menyambut saat diriku membuka mata. Tidak ada AC ataupun boneka, tetapi rasa nyaman menggelayuti walaupun baru semalam tidur di sini.

"Terima kasih, Mbok," ujarku.

Ia adalah pembantu yang mengerti. Benar, mama dan papa telah mengizinkan aku untuk tinggal dengan Mbok Minah. Entah apa alasannya, yang aku tahu mereka sudah saling asing.

Di rumah ini Mbok Minah aku ingin menetap. Tidak memerlukan AC untuk menghangatkan, hanya senyuman dan kasih sayangnya yang membuat diriku betah. Hari ini, aku telah berikrar dalam hati, rumah Mbok Minah adalah tempat menetap.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar