Pergi Tak Kembali

By Danansih - August 24, 2019

Pergi Tak Kembali

"Kak, aku takut," bisik Dion lirih.

Anak itu mengeratkan cengkeramannya di lenganku. Nyali ini juga menciut melihat dua preman di hadapan. Tatapan garang ditujukan kepada kami dari mereka.

"Ayo. Jangan banyak basa-basi, cepat berikan uang kalian kepada kami!"

Dion bergerak menuju belakangku. Keringat dingin mengucur dari tangan mungilnya. Aku pun mengeratkan pegangan pada kaleng berisi uang koin dan kertas.

"Hey cepat!" teriak salah satu preman dengan mata melotot.

Aku menatap Dion. Memberikan kode agar kabur dalam hitungan ke tiga. Setelah kami menghitung dalam hati, aku menarik tangan Dion meninggalkan kedua preman yang masih berusaha mengejar.

"Aduh!" ujar Dion tersungkur.

Lutut Dion mengeluarkan darah. Di belakangnya telah berdiri dua preman tadi. Sambil tertawa jahat mereka mendekat. Tanpa aba-aba preman berkepala botak merampas kaleng yang kusembunyikan. Percuma, tidak ada perlawanan yang kulakukan, karena sadar bahwa tenaga anak kecil seperti diri ini akan kalah dengan tenaga orang dewasa seperti mereka.

"Bagus!" ujar mereka pergi.

Dion menatap diriku sendu. Air mata mulai menghiasi netranya. Ia kemudian memeluk diriku.

"Maafkan Dion, Kak. Jika Dion tidak jatuh—"

"Tidak apa-apa. Ini bukan kesalahan Dion. Lebih baik kita pulang," ujarku sambil memapah Dion.

*
Rasa takut menghampiri ketika sampai di depan rumah tampung. Aku mengembuskan napas. Menyiapkan hati untuk menerima hukuman karena tidak membawa sepeser uang pun malam ini.

Bang Joni muncul di ambang pintu. Sedikit buru-buru
diriku menghampirinya. Langsung kuperintah Dion untuk masuk. Anak kecil seperti dia belum mengerti kehidupan jalanan.

"Di mana kalengmu, Lis?" tanya Bang Joni dengan wajah datar.

Aku gemetar. Kemarin Bang Joni telah marah karena aku dan Dion tidak membawa banyak uang. Namun, karena kebaikan ia masih mau memberikan makan. Entah malam ini, pasti Bang Joni tidak akan membiarkanku lagi. Apalagi malam ini aku dan Dion tidak membawa uang sama sekali.

"I—i–ini, Bang."

Aku terbata lalu menyodorkan kaleng bekas tak berisi kepadanya. Dugaan tadi benar, tawa riuh mengalun di telinga. Sudah kebiasaan, jika Bang Joni marah, maka pembukaannya adalah tawa terbahak. Aku semakin menunduk, tidak tahu apa hukuman yang akan berlaku. Kemarin, Tini pun dihukum. Namun, anak itu tidak membeberkan apa hukumannya. Ia hanya kembali dengan mata sembab seperti habis menangis.

"Kenapa bisa kosong? Kamu tidak becus rupanya!" bentaknya kemudian.

"Ta—tadi ada preman yang memalak aku dan Dion, Bang."

"Kamu pikir aku percaya, kemarin aku masih punya rasa kasihan padamu. Sekarang tidak lagi, Lis," ujarnya menatap diriku tajam.

"Ikut aku!"

Bang Joni menyeretku menjauhi rumah tampung para anak asuhnya. Ia berhenti tepat di depan bangunan tua. Cukup jauh jaraknya dari rumah tampung kumuh tadi.

"Masuk, Lis!"

Aku menurut. Memasuki ruangan itu dengan perasaan takut. Tanpa cahaya, aku mencoba meraba. Bang Joni menutup pintu.

"Aku tidak akan memaafkanmu!" serunya.

Ia membimbingku menghadap dinding. Setelah itu suara sebuah benda tidak asing berbunyi. Keringat dingin mengucur deras ketika benda itu beradu di kulit punggungku.

"Baru satu kali, tapi sudah sakit?" tanya Bang Joni.

Aku tidak tahu bagaimana raut wajahnya. Namun, yang pasti rasa sakit di punggung kian menjalari. Aku meringis ketika ke dua kalinya Bang Joni memukulkan sabuk kulit itu.

"Sudah Lis. Jangan katakan hukuman ini pada siapa pun. Kemarin Tini mendapatkan tiga kali, beruntung kamu hanya mendapat dua kali saja. Namun, Dion—"

"Jangan pukul Dion, Bang!" ujarku sambil menahan nyeri.

"Baik, pergi sana!"

Aku mengangguk. Membuka pintu dan berjalan ke rumah tampung. Angin malam membelai wajah ini. Rasa dingin mulai menyapa, tetapi rasa perih dan sakit lebih mendominasi.

"Aku menunggu Kakak dari tadi. Ayo makan! Ini keberuntungan, Bang Joni memberikan makanan, walaupun satu bungkus untuk berdua," ujar Dion.

Aku menggeleng. Satu bungkus untuk berdua itu mustahil. Jika porsi makan itu hanya diperuntukkan anak seusia Dion. Biarlah kali ini aku akan mengalah.

"Kakak tadi juga sudah makan dengan Bang Joni. Jadi kamu makan saja semua," ujarku menatap mata Dion.

Terlihat ruangan ini sepi, sepertinya hanya Dion yang masih membuka mata, sedangkan yang lainnya telah tidur di kamar masing-masing. Aku menghela napas. Ternyata selama ini mereka diperlakukan menyakitkan seperti tadi.

"Apa Kakak tidak berbohong?"

Aku menggeleng, menatap Dion yang akhirnya percaya. Anak itu mulai membuka bungkusan nasi. Melahap semua sampai tandas. Aku mengalihkan pandangan, agar bisa menahan rasa lapar yang membuncah.

Setelah makan, Dion pamit pergi ke kamar lelaki. Aku pun berjalan sambil terus meringis saat kaos bergesekan dengan kulit punggung. Perlahan diriku berbaring ke tikar.

"Lis," ujar Tini membuatku menoleh.

Ternyata anak itu masih membuka mata. Perlahan ia pun duduk di sampingku. Menatap diriku dengan pandangan iba.

"Apa tadi Bang Joni melakukan hukuman?"

Aku mengangguk kelu. Tini pun mulai mendekat. Menyingkap kaos dan memperlihatkan punggung memar.

"Kamu juga mendapatkan itu?" tanya Tini.

"Iya."

"Ini, aku ada obat salep. Tadi aku menilap sedikit uang hasil mengamen. Semoga ini bisa membantu."

"Terima kasih," ujarku sambil menerima obat itu.

"Apa kamu sudah makan?"

Aku menggeleng sambil tersenyum. Tini mulai beranjak dari duduknya dan mengambil sesuatu dari lemari plastik usang. Setelah itu ia menyodorkan obat.

"Apa ini, Tin?" tanyaku.

"Ini adalah obat asam lambung. Jika kamu tidak makan, maka makanlah ini. Pasti perutmu tidak akan nyeri."

Aku mengangguk. Meraih satu pil dan mengunyahnya. Berharap semoga esok perut ini bisa terisi dengan nasi. Bukan obat pencegah lapar seperti malam ini.

*
Resep yang diberikan Tini memang ampuh. Esok hari, perutku tidak terasa nyeri. Aku pun bersiap. Memakai topi dan sepatu untuk berangkat mengamen.

Dion terlihat ceria pagi ini. Ia berceloteh sepanjang perjalanan. Tujuan utama pagi ini adalah angkutan umum.

Aku pun mulai menyanyikan lagu bersama Dion. Para penumpang terlihat menikmati lagu berjudul ibu. Perlahan aku mengulurkan topi ke arah para penumpang. Ada yang tersenyum ramah, tetapi ada juga yang menatap sinis.

"Kak, aku haus," ujar Dion setelah turun dari bus pertama.

Hari ini memang terik. Tidak seperti biasanya. Akhirnya dengan keberanian, aku mengajak Dion ke warung untuk membeli air.

Kami beristirahan sebentar. Aku menatap lalu lalang kendaraan. Hingga netra ini menatap anak kecil yang berada di tengah jalan. Terlihat mobil melaju kencang dari arah berlawan. Tanpa pikir panjang aku berlari dan menyeret anak kecil itu ke pinggiran jalan.

"Anakku!" ujar wanita paruh baya dari seberang jalan.

"Terima kasih," ujarnya datang tergopoh-gopoh.

Ia pun mulai menanyaiku beberapa hal. Sebuah tawaran yang ia ucapkan membuat diriku mengangguk. Setelah itu, ia pergi bersama anak kecil tadi. Semoga, bahagia segera ada.

*

Malam mulai meninggi. Ketika semua anak telah terlelap, aku dan Dion mulai bersiap. Ini sebuah keputusan besar, karena kami akan kabur dari sini.

Banyak alasan yang melandasi, salah satunya karena Bang Joni mulai semena-mena. Kami berjalan mengendap. Menutup pintu tanpa bersuara.

Bersama melihat bintang kami meninggalkan rumah tampung itu. Menuju panti asuhan, tempat baru kami. Berharap ada bahagia yang bisa didapat dari sana. Semoga saja.

*
Kedatanganku dan Dion disambut oleh wanita paruh baya, namanya Bu Sinta. Ia adalah pengurus panti, sekaligus wanita yang kutolong anaknya tempo hari. Ia menyambut kami dengan senyum ramah.

*

Baru seminggu tinggal di panti asuhan, tetapi rasa nyaman sudah menggelayuti hati. Dion pun terlihat lebih ceria daripada biasanya. Anak itu pun terlihat semakin gemuk. Hari ini Bu Sinta memanggilku untuk berbicara berdua, entah untuk apa.

"Lisa, ibu mau berbicara tentang orang yang ingin mengadopsi Dion."

Aku terdiam. Masih menyimak apa yang akan Ibu Sinta katakan. Perasaanku sedikit terkejut setelah mendengar pernyataannya. Namun, rasa senang lebih dominan. Itu artinya Dion akan mendapatkan kebahagiaan.

Kami berbincang cukup lama. Hingga kesimpulan yang didapat adalah aku yang menyetujui adopsi Dion.

Saat cakrawala mulai menggelap dan anak panti yang sudah mulai menutup mata, aku masih terjaga. Perlahan, aku ke kamar Dion. Mengingat tanggapan yang anak itu sampaikan tadi. Membuat hati ini berdesir, antara sedih dan bahagia bercampur jadi satu.

Dion berpikir bahwa besok, ia diajak jalan-jalan lalu pulang ke panti. Namun, nyatanya besok adalah hari di mana dia menemukan rumah dan keluarga baru. Aku mengelus puncak kepalanya, ini berat tetapi diriku yakin, Dion akan bahagia di tempat barunya

Tamat.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar